19 December 2011

Kacamata Malaikat (Mom, My Inspiring Woman)

Siang hari yang  riuh, saat tepat sang mentari memancarkan sinarnya yang mampu menembus hati setiap orang untuk mengatakan bahwa waktu istirahat telah tiba. Namun dengan seragam putih abu-abu kesayanganku yang terlihat kumuh, aku tidak mengindahkannya. Aku tetap berjalan dengan diiringi rasa bahagia yang tak tergambarkan menuju kepada seorang tukang kacamata di pinggir jalan yang penuh sesak dengan manusia.

           “Pak kacamata plus dengan harga Rp. 30.000,- ada?”

            “Gak ada neng, yang paling murah Rp. 45.000,- ” Senyum hangat terlontar dari bibir tukang kacamata itu.

            “Wah.. Saya tidak mempunyai uang cukup untuk membelinya pak. Hmmm... tukar tambah bisa?”

            “Bisa, mana sini kacamatanya?”

            “Tunggu sebentar...” Aku berlari dengan cepat ke rumah untuk  mengambil kacamata Ibu yang sudah rusak.

            Setibanya di rumah, aku ucapkan salam kepada Ibu—karena hanya tinggal kami berdua yang berada di dalam rumah—dengan  suara rendah. Ketika ku tengok, ternyata Ibu sedang tertidur.  Dengan mengendap-endap aku memasuki kamar Ibu. Aku membuka laci lemarinya dan mengambil kacamata yang telah rusak itu. Kudekati beliau dan aku berbisik kepadanya “Ibu, sebentar lagi kau akan bisa dengan nyaman membaca Al-Quran kecilmu itu. Selamat tidur Ibu” Ku kecup pipinya, tersenyum lebar, dan dengan bersegera kembali berlari lagi menghampiri tukang kacamata itu.

            “Hhuhhh... hhuhhh... Ini pak kacamatanya.” Aku terengah-engah.

            “Oh iya.. Sebenarnya untuk apa sih eneng beli kacamata plus? kan eneng masih muda.” Sambil memeriksa kacamata.

            “Hari ini adalah hari ibu pak, saya ingin memberikan kado untuk ibunda saya. Sudah sejak lama ibu menginginkan sebuah kacamata baca baru. Karena satu-satunya kacamata yang ibu punya rusak dan saya tidak tega jika harus melihatnya membaca dengan jarak yang jauh. Dan saya sengaja mengumpulkan uang saku untuk hari ini.”

            “HHmmm... Sebenarnya kacamata ini hanya berharga Rp. 5000,-. Tapi tak apa lah. Segeralah kau pulang dan berikan ini kepada Ibumu.“

            “Wah.. terimakasih banyak pak..” Bapak itu tersenyum dan melambaikan tangannya memberi tanda agar aku segera pulang dan memberikannya kepada Ibu. Sungguh mulia hati bapak itu.

            Dengan bersegera aku berlari pulang. Ketika sampai di rumah aku dapati Ibu masih tertidur pulas di atas ranjang empuknya. Aku mengganti pakaianku, kemudian aku duduk di sampingnya sambil menunggu beliau terbangun dari tidurnya.

            Satu jam........ dua jam....... tiga jam berlalu, Ibu belum kunjung terbangun. Aku tetap menunggu, aku tidak tega membangunkannya, tangannya dingin, wajahnya terlihat amat lelah, dan bibirnya pucat. Aku tak ingin mengganggu istirahatnya. Biarkan ibu terbangun dengan sendirinya.

            Beberapa menit kemudian tiba-tiba tubuhku seperti terguncang sesuatu, pandanganku berbayang, ‘Taaarrr...’ piring dan gelas berjatuhan. Aku lihat cermin, bergoncang amat kencang. Dinding rumahku mulai retak. Orang-orang berhamburan keluar. Ya Allah ini gempa. Aku panik.. ku genggam erat bungkusan kecil yang baru saja aku beli itu. Sungguh aku takut sesuatu yang buruk terjadi pada beliau. Mataku menjelajahi seisi kamar, mencari sesuatu yang dapat aku gunakan untuk menyelamatkan kami berdua. Namun apa yang harus kulakukan???

            Aku bingung, di satu sisi aku harus membawa Ibu keluar rumah tapi di sisi lain aku tidak kuasa membangunkannya. Ibu terlalu lelah. Wajahnya semakin pucat. Tak ada pilihan lain. Ku ambil selimut di samping beliau,
lalu ku tutupi tubuh kami berdua, dan ku peluk erat tubuh ibuku.

            Dalam tangisku, aku berdoa pada Sang Khalik “Ya Allah Tuhan Semesta Alam, selamatkanlah aku dan ibuku dari bencana ini. Janganlah Engkau biarkan sedikitpun reruntuhan ini menyentuhnya. Biarkanlah ia mencukupkan istirahatnya, dan ketika ia terbangun biarkanlah aku melihat senyumannya. Biarkan aku memberikan kado kecil ini untuknya. Biarkan ia mampu membaca kitab-Mu dengan nyaman. Namun jika memang telah tiba saatnya bagi kami untuk menghadap-Mu, biarkanlah kami tertidur untuk selamanya dalam keadaan husnulkhotimah. Cukuplah Engkau menjadi Penolong kami dan Engkau adalah sebaik-baik Pelindung. Amin”

            Tiba-tiba goncangan itu berhenti. Aku buka selimut yang menutupi tubuh kami berdua. Dan Subhanallah, rumah kami hancur, semua runtuh, tidak ada yang tersisa kecuali satu kasur tempat kami berbaring dan seperangkatnya yang masih utuh tanpa sedikitpun terkena reruntuhan. Aku berdiri, dan bersujud kepada Allah. “Sujud syukur pada Engkau yang telah menyelamatkan kami dari bencana ini, dan tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur.”

            Aku kembali duduk di samping ibu. Selelah itukah ibundaku?? Sejak tadi bahkan ketika goncangan dahsyat pun beliau masih tetap terlelap dalam tidurnya. Apakah ini waktunya aku membangunkan beliau?? Karena aku rasa dengan waktu istirahat yang cukup lama, maka hilanglah sebagian rasa lelahnya. Bibirnya tersenyum, tapi warna wajahnya semakin pucat, tak merona. Tubuhnya semakin dingin. Apa ibu sedang sakit?? Tapi sakit apa?? Selama ini ibu selalu bicara padaku ketika ia sedang sakit.

           Akhirnya dengan penuh keyakinan dan sedikit rasa tega aku mengusap kening ibu yang semakin dingin. Aku gemetar. Suatu perasaan tidak enak menghantuiku.  Ah itu hanya perasaan saja. Aku coba membuka bibirku dan mengeluarkan suara lirih “Ibu, bangun! Waktu ashar hampir habis. Kita belum sholat bu.” Tak ada jawaban sedikit pun dari ibu. “Ibu, apakah engkau masih lelah bu?” air mataku menetes. “Ibu, apakah engkau sudah lelah untuk membuka matamu bu?” Ibu hanya memancarkan senyum yang tak berubah sejak aku pulang dari tukang kacamata itu.

           Ibu... mengapa engkau mengacuhkanku?? Apa kau marah padaku?? Apa kau tak ingin menerima kado kecil ini untukmu?? Apakah karena Sang Khalik telah menjemputmu?? Sang Khalik menjemputmu?? Ibuuuuuuu...........

           Aku baru tersadar, ternyata sejak aku pulang dari tukang kacamata itu. Sejak aku bisikkan selamat tidur pada ibu. itu adalah salam perpisahanku dengannya. Wajahnya yang semakin pucat kulihat, tangannya yang semakin dingin kusentuh. Ternyata itu bukan tanda kelelahannya, tapi itu tanda bahwa ia telah tertidur untuk selamanya.

“Sesungguhnya kita adalah milik Allah, dan kepada-Nya lah kita akan kembali. Ya Tuhan ku, sungguh agung cara-Mu memisahkan kami. Bahkan disaat terakhir pun Engkau masih membiarkan aku melihat senyumnya. Ampunilah dosa-dosa ibuku, terimalah segala amal ibadahnya, terangilah kuburnya, dan tempatkan malaikatku di tempat terindah penuh nikmat-Mu. Amin” Dengan penuh haru, senyum, dan rasa ikhlas, kulepas ibu dari pelukanku.

          Sungguh Ibu telah menginspirasikan banyak hal kepadaku. Ia mengajarkanku untuk mengutamakan Al-Qur'an dalam hidupku, untuk menjadi seorang wanita yang tegar, bahkan dipenghujung waktunya ia masih memberiku pelajaran untuk tersenyum dalam keadaan apapun.

          Namun kini malaikatku telah pergi. Ya... Pergi jauh menghadap Sang Khalik dan kado kecil ini masih kugenggam.
          Biarlah kusimpan untuk selamanya, sebagai bukti nyata rasa cintaku kepadamu Ibuku... :')

-THE END-
Rachma Syafitri
13/12/2011

No comments:

Post a Comment

lets give your comment ^_^