Siang hari yang riuh, saat tepat sang mentari memancarkan sinarnya
yang mampu menembus hati setiap orang untuk mengatakan bahwa waktu
istirahat telah tiba. Namun dengan seragam putih abu-abu kesayanganku
yang terlihat kumuh, aku tidak mengindahkannya. Aku tetap berjalan
dengan diiringi rasa bahagia yang tak tergambarkan menuju kepada seorang
tukang kacamata di pinggir jalan yang penuh sesak dengan manusia.
“Pak kacamata plus dengan harga Rp. 30.000,- ada?”
“Gak ada neng, yang paling murah Rp. 45.000,- ” Senyum hangat terlontar
dari bibir tukang kacamata itu.
“Wah.. Saya tidak
mempunyai uang cukup untuk membelinya pak. Hmmm... tukar tambah bisa?”
“Bisa, mana sini kacamatanya?”
“Tunggu sebentar...”
Aku berlari dengan cepat ke rumah untuk mengambil kacamata Ibu yang
sudah rusak.
Setibanya di rumah, aku ucapkan
salam kepada Ibu—karena hanya tinggal kami berdua yang berada di dalam
rumah—dengan suara rendah. Ketika ku tengok, ternyata Ibu sedang
tertidur. Dengan mengendap-endap aku memasuki kamar Ibu. Aku membuka
laci lemarinya dan mengambil kacamata yang telah rusak itu. Kudekati
beliau dan aku berbisik kepadanya “Ibu, sebentar lagi kau akan bisa
dengan nyaman membaca Al-Quran kecilmu itu. Selamat tidur Ibu” Ku kecup
pipinya, tersenyum lebar, dan dengan bersegera kembali berlari lagi
menghampiri tukang kacamata itu.
“Hhuhhh... hhuhhh...
Ini pak kacamatanya.” Aku terengah-engah.
“Oh iya..
Sebenarnya untuk apa sih eneng beli kacamata plus? kan eneng masih
muda.” Sambil memeriksa kacamata.
“Hari ini adalah
hari ibu pak, saya ingin memberikan kado untuk ibunda saya. Sudah sejak
lama ibu menginginkan sebuah kacamata baca baru. Karena satu-satunya
kacamata yang ibu punya rusak dan saya tidak tega jika harus melihatnya
membaca dengan jarak yang jauh. Dan saya sengaja mengumpulkan uang saku
untuk hari ini.”
“HHmmm... Sebenarnya kacamata ini
hanya berharga Rp. 5000,-. Tapi tak apa lah. Segeralah kau pulang dan
berikan ini kepada Ibumu.“
“Wah.. terimakasih banyak
pak..” Bapak itu tersenyum dan melambaikan tangannya memberi tanda agar
aku segera pulang dan memberikannya kepada Ibu. Sungguh mulia hati bapak
itu.
Dengan bersegera aku berlari pulang.
Ketika sampai di rumah aku dapati Ibu masih tertidur pulas di atas
ranjang empuknya. Aku mengganti pakaianku, kemudian aku duduk di
sampingnya sambil menunggu beliau terbangun dari tidurnya.
Satu jam........ dua jam....... tiga jam berlalu, Ibu belum kunjung
terbangun. Aku tetap menunggu, aku tidak tega membangunkannya, tangannya
dingin, wajahnya terlihat amat lelah, dan bibirnya pucat. Aku tak ingin
mengganggu istirahatnya. Biarkan ibu terbangun dengan sendirinya.
Beberapa menit kemudian tiba-tiba tubuhku seperti terguncang sesuatu,
pandanganku berbayang, ‘Taaarrr...’ piring dan gelas berjatuhan. Aku
lihat cermin, bergoncang amat kencang. Dinding rumahku mulai retak.
Orang-orang berhamburan keluar. Ya Allah ini gempa. Aku panik.. ku
genggam erat bungkusan kecil yang baru saja aku beli itu. Sungguh aku
takut sesuatu yang buruk terjadi pada beliau. Mataku menjelajahi seisi
kamar, mencari sesuatu yang dapat aku gunakan untuk menyelamatkan kami
berdua. Namun apa yang harus kulakukan???
Aku
bingung, di satu sisi aku harus membawa Ibu keluar rumah tapi di sisi
lain aku tidak kuasa membangunkannya. Ibu terlalu lelah. Wajahnya
semakin pucat. Tak ada pilihan lain. Ku ambil selimut di samping beliau,
lalu
ku tutupi tubuh kami berdua, dan ku peluk erat tubuh ibuku.
Dalam tangisku, aku berdoa pada Sang Khalik “Ya Allah Tuhan
Semesta Alam, selamatkanlah aku dan ibuku dari bencana ini. Janganlah
Engkau biarkan sedikitpun reruntuhan ini menyentuhnya. Biarkanlah ia
mencukupkan istirahatnya, dan ketika ia terbangun biarkanlah aku melihat
senyumannya. Biarkan aku memberikan kado kecil ini untuknya. Biarkan ia
mampu membaca kitab-Mu dengan nyaman. Namun jika memang telah tiba
saatnya bagi kami untuk menghadap-Mu, biarkanlah kami tertidur untuk
selamanya dalam keadaan husnulkhotimah. Cukuplah Engkau menjadi Penolong
kami dan Engkau adalah sebaik-baik Pelindung. Amin”
Tiba-tiba goncangan itu berhenti. Aku buka selimut yang menutupi tubuh
kami berdua. Dan Subhanallah, rumah kami hancur, semua runtuh, tidak ada
yang tersisa kecuali satu kasur tempat kami berbaring dan
seperangkatnya yang masih utuh tanpa sedikitpun terkena reruntuhan. Aku
berdiri, dan bersujud kepada Allah.
“Sujud syukur pada
Engkau yang telah menyelamatkan kami dari bencana ini, dan tentulah kami
menjadi orang-orang yang bersyukur.”
Aku kembali duduk di samping ibu. Selelah itukah ibundaku?? Sejak tadi
bahkan ketika goncangan dahsyat pun beliau masih tetap terlelap dalam
tidurnya. Apakah ini waktunya aku membangunkan beliau?? Karena aku rasa
dengan waktu istirahat yang cukup lama, maka hilanglah sebagian rasa
lelahnya. Bibirnya tersenyum, tapi warna wajahnya semakin pucat, tak
merona. Tubuhnya semakin dingin. Apa ibu sedang sakit?? Tapi sakit apa??
Selama ini ibu selalu bicara padaku ketika ia sedang sakit.
Akhirnya dengan penuh keyakinan dan sedikit rasa tega aku mengusap
kening ibu yang semakin dingin. Aku gemetar. Suatu perasaan tidak enak
menghantuiku. Ah itu hanya perasaan saja. Aku coba membuka bibirku dan
mengeluarkan suara lirih “Ibu, bangun! Waktu ashar hampir habis. Kita
belum sholat bu.” Tak ada jawaban sedikit pun dari ibu. “Ibu, apakah
engkau masih lelah bu?” air mataku menetes. “Ibu, apakah engkau sudah
lelah untuk membuka matamu bu?” Ibu hanya memancarkan senyum yang tak
berubah sejak aku pulang dari tukang kacamata itu.
Ibu... mengapa engkau mengacuhkanku?? Apa kau marah padaku?? Apa kau
tak ingin menerima kado kecil ini untukmu?? Apakah karena Sang Khalik
telah menjemputmu?? Sang Khalik menjemputmu?? Ibuuuuuuu...........
Aku baru tersadar, ternyata sejak aku pulang dari tukang kacamata itu.
Sejak aku bisikkan selamat tidur pada ibu. itu adalah salam perpisahanku
dengannya. Wajahnya yang semakin pucat kulihat, tangannya yang semakin
dingin kusentuh. Ternyata itu bukan tanda kelelahannya, tapi itu tanda
bahwa ia telah tertidur untuk selamanya.
“Sesungguhnya
kita adalah milik Allah, dan kepada-Nya lah kita akan kembali. Ya Tuhan
ku, sungguh agung cara-Mu memisahkan kami. Bahkan disaat terakhir pun
Engkau masih membiarkan aku melihat senyumnya. Ampunilah dosa-dosa
ibuku, terimalah segala amal ibadahnya, terangilah kuburnya, dan
tempatkan malaikatku di tempat terindah penuh nikmat-Mu. Amin”
Dengan penuh haru, senyum, dan rasa ikhlas, kulepas ibu dari pelukanku.
Sungguh Ibu telah menginspirasikan banyak hal kepadaku. Ia
mengajarkanku untuk mengutamakan Al-Qur'an dalam hidupku, untuk menjadi
seorang wanita yang tegar, bahkan dipenghujung waktunya ia masih
memberiku pelajaran untuk tersenyum dalam keadaan apapun.
Namun kini malaikatku telah pergi. Ya... Pergi jauh menghadap Sang
Khalik dan kado kecil ini masih kugenggam.
Biarlah
kusimpan untuk selamanya, sebagai bukti nyata rasa cintaku kepadamu
Ibuku... :')
-THE END-
Rachma Syafitri
13/12/2011